Lompat ke konten

Mengenal Ekoenzim Sebagai Salah Satu Upaya Meredam Pendidihan Global

Salah satu dampak buruk dari adanya sampah makanan adalah menguapnya gas metana yang ada di dalamnya, yang kemudian mengakibatkan pemanasan global atau yang saat ini oleh PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) disebut dengan pendidihan global. Pendidihan global bukan lagi sebuah teori ancaman, tetapi itu adalah situasi yang dirasakan oleh umat manusia hari ini. Salah satu Negara Asean yang mengalami pendidihan global adalah Thailand yang suhu tertingginya mencapai 52°C dan Kamboja yang mencapai suhu tertinggi dalam 170 tahun terakhir yaitu 43°C. Lalu apakah kita manusia yang ditugaskan oleh Tuhan akan terus merusak bumi sebagai tempat tinggal kita sendiri?

Salah satu upaya untuk mengurangi pendidihan global adalah mengurangi sampah makanan yang mengandung gas metana dengan cara menghabiskan setiap makanan yang kita miliki atau mengolah sampah makanan supaya tidak mengeluarkan gas metana. Ada banyak cara dalam mengolah sampah makanan supaya bermanfaat dalam aktivitas sehari-hari manusia seperti pengomposan untuk menjadi pupuk tanaman, menjadikan ekoenzim untuk menjadi pembersih atau dapat dijadikan salah satu komponen sabun, dan masih banyak lagi. Dan ekoenzim adalah pokok pembahasan kita kali ini.

Ekoenzim adalah hasil fermentasi limbah organik dapur menjadi bahan yang mempunyai banyak manfaat untuk alam dan manusia. Manfaat ekoenzim untuk pertanian adalah sebagai filter udara, herbisida dan pestisida alami, filter air, pupuk alami untuk tanaman, dan dapat menurunkan efek rumah kaca. Selain itu ekoenzim juga dapat digunakan sebagai komponen pembuatan sabun, pembersih lantai, pencuci piring, dan pembersih kamar mandi. Sebenarnya masih banyak lagi manfaat dari ekoenzim, seperti yang terjadi di Kudus. Ekoenzim berpartisipasi dalam membunuh virus Covid-19 yang ada di Kudus. Berkat dilakukannya penyemprotan ekoenzim status pengidap Covid-19 di Kudus dapat menurun pada saat terjadinya wabah tersebut.

Pembuatan ekoenzim cukuplah mudah, bahan-bahannya adalah sampah organik berupa sisa sayur dan buah yang belum membusuk, molase atau dapat diganti dengan gula aren, dan air. Air yang digunakan merupakan air bersih, dapat berupa air dari sumbernya atau air hujan langsung. Komponen-komponen ini dicampurkan dengan perbandingan (1:3:10) atau jika diperinci menjadi 1 liter air bersih, 300 gram sampah organik, dan 100 ml molase. Komponen ini kemudian dijadikan satu dalam wadah dan disimpan dalam keadaan anaerob (kedap udara) selama 3 bulan. Proses ini tidak dapat dikurangi karena proses untuk mengubah kandungan metana dalam sampah organik untuk menjadi enzim memang membutuhkan waktu 3 bulan. Kemudian proses panen ekoenzim ini adalah dengan cara menyaring cairan yang telah disimpan tadi kemudian memindahkan ke botol bersih, dan ampasnya dapat dijadikan sebagai pupuk organik atau dikeringkan untuk menjadi pengharum ruangan.

Formula dalam pembuatan ekoenzim ini ditemukan oleh pendiri Asosiasi Pertanian Organik di Thailand yaitu Dr. Rokuson Poompanvong pada tahun 1980-an. Dan kemudian disebarluaskan oleh Dr. Joean Oan seorang peneliti Naturophaty asal Penang Malaysia. Ekoenzim ini memiliki banyak manfaat dalam kehidupan manusia dan prosesnya sangat mudah untuk dilakukan oleh masyarakat umum serta tidak memakan biaya yang mahal. Selain memiliki manfaat yang banyak, ekoenzim juga dapat mengurangi pemanasan global. Karena ekoenzim mengilangkan gas metana yang ada dalam sampah organik yang menimbulkan suhu panas di bumi. Oleh karena itu ekoenzim perlu untuk disebarluaskan guna menyikapi situasi bumi yang mendidih hari ini.


M. Ulil Albab (Sejawat Lawoh)

NTA: AT.160794.XXVIII.218.PA

Sie. Lingkungan Hidup

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *