Mahasiswa yang tergabung dalam UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) Mapala MITAPASA Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga mengirimkan bantuan kepada korban banjir di Pati Kecamatan Gabus pada Jumat (12/3). Bantuan ini berupa sembako, sayuran, air minum bersih, kebutuhan bayi, dan perlengkapan ibadah. Kegiatan ini terlaksana Bersama Kelembagaan IAIN Salatiga, mahasiswa, IKMP (Ikatan Keluarga Mahasiswa Pati), dan mahasiswa KKN IAIN Salatiga.
Banjir kali ini meluas di Pati Selatan terutama Kecamatan Gabus menjadi titik wilayah yang terparah. Meskipun bencana banjir yang terjadi di Pati ini bukan kali pertamanya dan sudah menjadi langganan setiap tahun, mengundang banyak relawan dari berbagai instansi setempat untuk mendirikan posko bencana.
“Wilayah terdampak paling besar adalah Pati Selatan terutama Kecamatan Gabus. Kami sudah mengkonsolidisikan kekuatan untuk memantau masing-masing wilayah terdampak dan siap terjun membantu saat dibutuhkan,” tambah ketua posko Gabus.
Kegiatan ini berlangsung dengan mengujungi daerah terdampak secara langsung dengan selalu mematuhi protokol kesehatan pencegahan dan penyebaran Covid-19. Banjir sudah melanda Kecamatan Gabus sejak hari Sabtu (6/2) dengan ketinggian 40 centi meter sampai dengan 100 centi meter.
“Alhamdulillah kami sampaikan terima kasih atas bantuannya bersama semoga menjadi amal jariyah dan semoga banjir segera surut, kami sudah mendirikan 6 Posko Bantu. Terima kasih kepada teman yang sudah membantu,” jelas Ketua Posko.
Kegiatan kemanusiaan ini diharapkan dapat meringankan beban para korban bencana banjir.
“Kegiatan peduli bencana ini merupakan kegiatan yang sangat positif dan bermanfaat. Tentunya kita sebagai mahasiswa juga mewujudkan Tri Dharma Perguruan Tinggi yaitu pengabdian masyarakat. Harapan untuk kedepannya kita bisa lebih sering melakukan kegiatan seperti ini” ungkap Rizal Irkhamnanto selaku Ketua Mapala MITAPASA.
Kondisi warga setempat masih banyak yang bertahan di rumah masing-masing meski rumahnya terendam banjir. Banyak sawah yang terendam banjir dan juga pekarangan ternak. Begitu pula yang terjadi dengan anak – anak yang memanfaatkan banjir untuk bermain. Selain curah hujan yang deras dalm kurun waktu yang cukup lama, banjir ini juga disebabkan oleh akibat meluapnya sungai Silugonggo yang setiap tahunnya selalu mengalami sedimentasi.
Banjir yang kerap terjadi setiap tahun ini sudah dianggap biasa oleh warga. Hal ini dapat dilihat dari respon warga yang menjadikan banjir ini menjadi wisata sebagai pemasukan warga yang telah kehilangan mata pencaharian. Warga mematok tarif keliling desa untuk setiap pengunjung menggunakan kapal sebesar Rp 5.000,00 setiap sekali jalan.
Banjir yang terjadi bertahun – tahun ini sudah selayaknya menjadi perhatian pemerintah daerah untuk segera mengambil tindakan nyata untuk memulihkan kondisi. Respon masyarakat yang kian menerima musibah ini terdesak karena kebutuhan ekonomi dan tidak ingin terlalu depresi dalam menghadapi banjir ini. (RK/Soja/Mapala MITAPASA)