Food Estate atau lumbung pangan merupakan salah satu kebijakan pemerintah yang dirancang dengan konsep pengembangan pangan secara terintegrasi di suatu kawasan mencakup pertanian, perkebunan, bahkan peternakan. Food Estate merupakan konsep pertanian berskala luas lebih dari 25 hektar yang berinteraksi dengan iptek, modal, serta organisasi dan manajemen modern. Keberadaan Food Estate yang digadang-gadang berpotensi mewujudkan ketahanan pangan ternyata juga menimbulkan kontroversi yakni berpotensi merusak lahan di masa depan.
Jika dilihat dari sejarahnya, Food Estate sebenarnya sudah hadir sejak masa pemerintahan Presiden Soeharto pada tahun 1990-an, program ini Bernama Mega Rice Project. Melalui kebijakan ini, Soeharto ingin mengubah rawa gambut di Kalimantan Tengah menjadi lahan pengembangan produksi beras, diperkirakan ada sejuta lahan gambut yang siap disulap. Namun dalam implementasinya, proyek tersebut gagal dikarenakan kondisi lahan gambut yang terlalu asam dan kekurangan nutrisi sehingga menyebabkan sulitnya pertumbuhan padi. Alhasil, pemerintah mengalami kerugian besar, masyarakat lokal tersisih, hutan dihabisi dan kemudian menjadi awal dari bencana lingkungan terbesar di akhir abad ke-20. Yang tersisa dari program ini adalah tanah gambut yang mengering. Alhasil, Ketika musim kemarau tanah gambut ini terbakar, kebakaran ini menyebabkan polusi udara yang parah dan krisis kesehatan masyarakat diseluruh Asia.
Kegagalan ini rupanya tak dijadikan pembelajaran bagi pemerintah selanjutnya, pada tahun 2010 program ini dilanjutkan oleh Presiden Soesilo Bambang Yoedhoyono dengan nama Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE). Tujuannya untuk menjamin swasembada Indonesia dalam hal pangan dan energi. Program ini menitikberatkan pada konsep Jawasentris, yakni berupaya menciptakan lahan pertanian penghasil beras, tebu, dan minyak sawit yang semuanya digunakan untuk masyarakat Jawa, bukan Papua. Alhasil, masyarakat Papua yang sehari-hari makan sagu pun kehilangan sumber pangan utamanya dikarenakan pengalihan lahan yang digunakan pemerintah untuk program MIFEE tersebut. Tak jera, Presiden Jokowi pun meluncurkan hal serupa. Food Estate masa pemerintahan periode Jokowi merupakan salah satu program strategis nasional tahun 2020-2024. Program ini membangun lumbung pangan nasional pada lahan seluas 165.000 hektare dan pada tahun 2020 dikerjakan seluas 30.000 ha sebagai model percontohan penerapan teknologi pertanian. Pada masa pemerintahan Jokowi, Food Estate digarap di sejumlah lokasi, yakni:
- Kalimantan Tengah: Komoditas Padi/Tanaman Pangan
- Sumatera Utara: Hortikultura (Komoditas bawang merah, bawang putih, kentang)
- Nusa Tenggara Timur: Pengembangan Sorgum/Tanaman Pangan
- Kabupaten Keerom, Papua: Komuditas jagung.
Namun dalam implementasinya, pengelolaan Food Estate ini dinilai gagal karena hasil panen yang tidak sesuai dengan perencanaan. Bahkan di Kalimantan Tengah yang dijadikan sebagai lahan lumbung pangan ini terbengkalai dan hanya menyisakan kerusakan hutan yang gundul. Hal ini menunjukan bahwa pengurus negara tidak paham makna kedaulatan pangan yang terjadi di Indonesia. Pengelolaan lahan yang tidak menyesuaikan dengan kondisi masyarakat lokal, serta tidak melibatkan masyarakat lokal dalam pengelolaan tersebut. Direktur WALHI Nasional Zenzi Suhadi, menyebutkan bahwa proyek Food Estate ini justru menghancurkan pondasi ketahanan pangan di Indonesia, karena kawasan hutan di Indonesia termasuk kawasan rawa gambut terdapat 77 jenis sumber pangan yang tidak teriidentifikasi oleh pemerintah. Dalam praktiknya, tidak dilakukan studi terkait potensi yang dimiliki wilayah tersebut, sehingga diambil keputusan bahwa kawasan ekosistem yang mulanya menghasilkan pangan justru kehilangan ekosistemnya dalam memproduksi pangan tersebut dikarenakan rusaknya tata lingkungan akibat praktik dari proyek Food Estate.